Ginitoh! Resiko Hyperinflation dari Kebijakan 200T Menkeu Purbaya
2025-09-12
Kebijakan baru dari Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menarik perhatian publik. Ia mengumumkan akan memindahkan Rp200 triliun dana pemerintah yang selama ini tersimpan di Bank Indonesia ke perbankan umum.
Tujuannya sederhana: agar uang tidak mengendap dan bisa mendorong aktivitas ekonomi masyarakat. Namun, langkah besar ini menimbulkan pertanyaan serius. Apakah injeksi dana jumbo ini bisa memicu pertumbuhan sehat, atau justru menimbulkan resiko hyperinflation?
Kita akan membahas peluang, tantangan, dan potensi resikonya secara lengkap.
Baca Juga: 4 Meme Coin dengan Market Cap Tertinggi Saat Ini: DOGE, SHIB, PEPE, PENGU
Apa Itu Kebijakan Rp200 Triliun Menkeu Purbaya?

Purbaya menjelaskan, dari Rp425 triliun dana pemerintah di Bank Indonesia, sebanyak Rp200 triliun akan dialihkan ke bank umum. Skemanya mirip deposito, di mana bank mendapat tambahan likuiditas untuk penyaluran kredit.
Bedanya, dana ini tidak boleh digunakan untuk membeli surat utang negara.
Tujuan utamanya adalah menggerakkan sektor riil. Kredit diharapkan mengalir ke perumahan, proyek infrastruktur, serta pembiayaan UMKM. Contoh keberhasilan pernah terjadi pada 2020-2021, ketika penempatan Rp66 triliun dana pemerintah mampu menggandakan kredit hingga Rp380 triliun lebih.
Meski terlihat menjanjikan, kebijakan ini menyimpan tantangan besar. Tanpa tata kelola ketat, tambahan dana bisa berhenti di neraca bank tanpa memberi dampak nyata pada masyarakat. Hal inilah yang memicu perdebatan tentang kemungkinan resiko inflasi tinggi.
Potensi Manfaat Kebijakan Rp200 Triliun
Dari sisi optimis, kebijakan ini dapat menjadi stimulus besar bagi ekonomi Indonesia. Dengan tambahan likuiditas, bank bisa lebih berani menyalurkan kredit ke sektor padat karya. Hal ini berpotensi menciptakan lapangan kerja baru, memperluas kapasitas UMKM, dan mendukung pembangunan perumahan rakyat.
Multiplier effect juga menjadi daya tarik utama. Dana yang masuk ke bank bisa berlipat ganda dampaknya ketika diputar dalam bentuk kredit produktif. Ujungnya, masyarakat punya akses lebih mudah ke pembiayaan, perusahaan bisa berekspansi, dan konsumsi domestik ikut meningkat.
Bagi perbankan, dana jumbo ini memperkuat posisi likuiditas. Hal tersebut memberi ruang lebih luas untuk inovasi produk kredit dan menjaga stabilitas sistem keuangan nasional. Dengan syarat, bank tidak menyalahgunakan dana ini untuk sekadar mempercantik laporan keuangan.
Resiko Hyperinflation dan Tantangan Kebijakan
Meski menjanjikan, kebijakan Rp200 triliun ini tidak lepas dari resiko. Risiko utama adalah inflasi tinggi jika dana beredar terlalu cepat tanpa diimbangi produktivitas. Dalam skenario buruk, bisa muncul gejala hyperinflation yang merusak daya beli masyarakat.
Ekonom Yusuf Rendy Manilet dari Core Indonesia menekankan pentingnya regulasi turunan. Tanpa aturan teknis, bank punya fleksibilitas terlalu besar dalam mengelola dana. Jika dana hanya ditempatkan di pasar keuangan, manfaat ke sektor riil bisa minim.
Selain itu, kondisi ekonomi global yang tidak stabil juga menjadi faktor. Jika pelaku usaha enggan mengambil kredit karena ketidakpastian, maka dana hanya berputar di sektor finansial tanpa menghasilkan pertumbuhan nyata.
Inilah tantangan terbesar agar kebijakan tidak hanya menambah uang beredar, tetapi juga menambah aktivitas produksi.
Baca Juga: 7 Cara Trading Crypto Jitu untuk Pemula, Lengkap dengan Tips dan Trik-nya
Cara Meminimalisir Risiko Inflasi
Untuk meminimalisir risiko inflasi, ada beberapa strategi yang bisa dilakukan pemerintah. Pertama, menetapkan target multiplier effect, sehingga bank harus menyalurkan dana ke sektor yang jelas memberi dampak.
Kedua, melakukan pelaporan berkala mengenai realisasi kredit dan penyerapan tenaga kerja.
Ketiga, pemerintah bisa menerapkan mekanisme clawback, yaitu menarik kembali dana jika bank tidak memenuhi target. Dengan cara ini, insentif bank selaras dengan tujuan kebijakan. Keempat, pengawasan ketat agar dana benar-benar mengalir ke sektor produktif seperti UMKM dan perumahan.
Jika langkah-langkah ini dilakukan, Rp200 triliun tidak hanya menjadi angka besar di kertas, tetapi benar-benar menjadi motor penggerak ekonomi. Risiko inflasi bisa ditekan, sementara manfaatnya tetap terasa bagi masyarakat luas.
Kesimpulan
Kebijakan Menkeu Purbaya untuk memindahkan Rp200 triliun dana pemerintah ke bank umum adalah langkah berani yang penuh peluang sekaligus tantangan. Di satu sisi, dana ini bisa jadi stimulus besar bagi perekonomian dan membuka jutaan lapangan kerja.
Namun, di sisi lain, risiko inflasi bahkan hyperinflation tetap mengintai jika penyaluran kredit tidak berjalan optimal.
Solusinya ada pada regulasi ketat, pengawasan transparan, dan fokus pada sektor produktif. Jika semua dijalankan dengan baik, kebijakan ini bisa jadi game changer ekonomi Indonesia.
Bagi kamu yang tertarik mengikuti perkembangan ekonomi sekaligus peluang investasi digital, jangan lupa membaca berita terbaru di Bittime Blog atau mulai trading di Bittime Exchange.
FAQ
Apa tujuan kebijakan Rp200 triliun?
Untuk mendorong penyaluran kredit ke sektor produktif agar ekonomi berputar lebih cepat.
Apa risiko terbesar kebijakan ini?
Risiko inflasi tinggi atau hyperinflation jika dana tidak terserap produktif.
Apakah kebijakan ini pernah berhasil sebelumnya?
Ya, pada 2020-2021 penempatan dana Rp66 triliun mampu menggandakan kredit hingga Rp380 triliun.
Sektor mana yang diharapkan menerima manfaat?
UMKM, perumahan, proyek konstruksi, dan sektor padat karya lain yang menyerap banyak tenaga kerja.
Bagaimana cara menekan risiko inflasi?
Dengan aturan jelas, pengawasan ketat, target multiplier, dan mekanisme clawback jika bank tidak mencapai target.
Disclaimer: Pandangan yang diungkapkan secara eksklusif milik penulis dan tidak mencerminkan pandangan platform ini. Platform ini dan afiliasinya menolak segala tanggung jawab atas keakuratan atau kesesuaian informasi yang disediakan. Ini hanya untuk tujuan informasi dan bukan merupakan saran keuangan atau investasi.



